Cerpen Pendidikan
MENDUNG MENGGANTUNG DI ATAS TANAH HARAPAN
MENDUNG MENGGANTUNG DI ATAS TANAH HARAPAN
Matahari baru
saja menampakkan wajahnya. Semburat merahnya memberi isyarat bahwa hari ini
bakal cerah. Titik air bercampur embun masih bergelantungan di daun-daun dadap
yang berjejer di jalan desa yang masih sepi. Kulangkahkan kakiku walaupun udara
dingin ditambah dengan jalanan becek bekas hujan tadi malam. Ditambah dengan
bajuku yang masih “baal” sehabis
dicuci kemarin sore. Perjalanan menuju sekolah hari ini terasa berat. Tadi
malam aku tak bisa tidur karena atap rumahku bocor. Daun rumbia atap rumahku
sudah banyak yang berlubang, rapuh dimakan usia. Tetes air hujan membasahi
sebagian rumahku dan mengenai wajahku. Baru setelah hujan agak reda aku bisa
tidur. Sementara perut terasa perih dan keroncongan karena sejak siang, sepulang sekolah kemarin hanya diisi beberapa
potong rebusan ubi kayu dan air putih.
“Man ! Lukman !
Tunggu “. Kudengar ada orang memanggil dari samping kananku. Aku kenal dengan
suara cempreng ini, pasti si Usuf.
“Kita
pergi sama-sama ya “. Aku hanya mengangguk.
Sekolah satu-satunya
yang kami miliki sekarang cukup jauh
dari desaku. Itupun dibangun atas swadaya masyarakat sekitar yang peduli
terhadap pendidikan. Untuk sampai ke sana kami harus melewati kebun-kebun karet
yang rimbun, derasnya air sungai Batang Lua, tajamnya
kerikil-kerikil dasar sungai yang kadang-kadang kalau tidak hati-hati bisa
melukai jari dan telapak kaki, bahaya gigitan “buntal” yang bisa melukai bahkan
memotong jari kaki kami
dan persawahan milik
penduduk sekitar. Kami sudah sampai di pinggir sungai. Air sungai begitu deras.
Seandainya tadi malam hujan tidak turun
dengan derasnya kami mungkin masih bisa
menyeberanginya tanpa rakit. Ada sedikit rasa sedih dan galau kalau teringat
dengan keadaan ini.
“Man, kamu ada uang
tidak buat nyewa rakit ? “ tanya Usuf begitu kami tiba di pinggir sungai
setelah melewati kebun karet.
“Buat uang saku
saja tak ada, apalagi untuk menyewa rakit, Suf “, jawabku sambil tetap
melangkah di antara genangan air. Ada rasa perih di sela-sela jari kakiku yang hanya
memakai sandal jepit butut sebagai alas
kaki. Sandal itupun pemberian seorang
mahasiswa yang pernah KKN di desa kami.
“Aku pun tak
punya uang”, kata Usuf.
“Sejak ayahku meninggal, ibu dan kakakku bekerja
sebagai buruh tani. Karena hasilnya tidak seberapa, kami harus menghematnya.
Hanya untuk keperluan yang penting saja, jadi aku tidak membawa uang saku ke
sekolah”, cerocos Usuf panjang lebar.
“Kita seberangi
saja “ ujarku pendek.
“Tapikan arus sungainya
sangat deras “ kata Usuf. Kecemasan nampak di wajahnya yang tirus. Agaknya ia
takut setelah mendengar ada anak yang terseret arus sungai minggu lalu.
“Pegangan di
batu, mudahkan?” kataku memberi semangat. Padahal hatiku sendiri ketar-ketir
mengingat peristiwa itu.
“Ya sudah
daripada tidak sekolah “ katanya pasrah.
Kulepas baju dan
celana sehingga hanya menyisakan celana dalam tanpa baju. Sandal jepit pun
kulepaskan agar tak hilang. Kulipat dengan rapi baju dan celana kemudian
kumasukkan ke kantong keresek bersama buku-buku agar nantinya tak basah.
”Man, kamu
duluan”, kata Usuf memintaku duluan.
Kubaca Bismillah agar selamat sampai ke seberang.
Kuangkat tinggi-tinggi kantong keresek di atas kepala agar tidak basah terkena
cipratan air. Sementara sebelah tanganku sibuk memilih-milih batu besar yang
bisa kupegangi. Sesekali kaki terperosok ke dasar yang lebih dalam. Kulihat
Usuf terus mengintilku dari belakang.
“Suf, hati-hati,
ya” kataku memperingatkan Usuf. Air sungai makin ke tengah makin deras.
Walaupun
dengan bersusah payah, akhirnya kami pun sampai ke seberang sungai. Tergesa-gesa
kupakai kembali celana dan bajuku.
“Alhamdulillah,”
ucapku spontan. Ayo Suf, cepat pakai
bajumu nanti kita terlambat”.
“Tunggu Man,” kata Usuf sambil berlari kecil memakai
bajunya.
“Mungkin di
sawah jalannya bakal licin “ gumamku dalam hati.
Perjalanan kami
masih panjang. Bentangan sawah masih harus kami lewati, ditambah lagi dengan
perkampungan penduduk barulah sampai ke sekolah.
Ternyata benar
pikiranku, jalan di sawah sangat licin akibat hujan tadi malam. Usuf sudah
beberapa kali hampir terjatuh. Untunglah dia dengan cekatan berpegangan pada
kayu-kayu di pinggir sawah. Sendal jepit kulepas agar tidak terpeleset. Sinar matahari
menerobos di sela-sela daun enau yang kami lalui dengan berlari. Di jalan desa
orang-orang sudah sepi. Mereka sudah
bekerja di sawah atau di kebun. Ini merupakan pertanda bahwa kami sudah terlambat.
Keringat membasahi
seluruh tubuh kami ketika sampai di halaman
sekolah. Sayup-sayup kudengar suara Pak Mugni, guru yang sekaligus menjadi wali
kelas kami menjelaskan pelajaran Bahasa Indonesia. Rasa lelah terpaksa kami
telan, tanpa keluhan. Inilah yang menyebabkan kami sering tertidur saat
belajar.
Kuketuk pintu
dan kuucapkan salam kepada guru dan teman-temanku yang sudah memulai pelajaran
di kelas. Aku dan Usuf terpaksa harus ketinggalan pelajaran, tapi aku masih
bersyukur dapat sampai ke sekolah dengan selamat
Belum lama aku
duduk, tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Meski ketukannya tidak keras, namun
karena suasana saat itu agak hening ketukan itu membuat kami semua terkejut.
Pak Junaidi, guru olahraga berdiri tepat di depan pintu begitu Aisyah yang
duduknya persis dekat pintu membuka dengan perlahan.
Setelah berbicara
sebentar dengan Pak Mugni, Pak Jun begitu biasa kami memanggil beliau, berdiri
di depan kelas.
“Anak-anak, hari
ini kalian belajar di rumah saja, karena …..
Belum selesai
Pak Jun bicara, anak-anak sudah memotongnya.
“Yah ….Pak?!”
terdengar koor anak-anak menyahut. Riuh gaduh suara anak-anak menyambut
pengumuman yang disampaikan Pak Jun kepada kami. Sebagian anak menyambut
gembira karena mereka bebas untuk bermain, sebagian lagi nampak terdiam dengan wajah
kecewa, termasuk aku dan Usuf. Seakan-akan perjalanan jauh yang melelahkan
terbuang sia-sia.
Di luar langit yang
tadinya cerah, berubah gelap. Ada deretan awan mendung yang mengantung.
Kulangkahkan kaki dengan gontai menuju pulang. Panggilan Usuf yang memintaku
untuk menunggunya tak kuhiraukan. Kami terus berjalan dalam diam menuju pulang.
Aku pulang membawa segumpal harapan yang ku bungkus dengan kecewa.
Titik-titik gerimis
mulai berjatuhan, lama kelamaan titik-titik itu berubah menjadi hujan deras
yang mengguyur seluruh tubuh kami. Ku biarkan derasnya hujan mengguyur tanpa
ada keinginan un tuk berteduh. Semoga guyuran ini dapat mengurangi rasa kecewa
dan penat yang menggayutiku.